“Akuuu orang miskiiin …. “
“Akuuu orang kayaaa ….”
“Minta anak satuuu …. “
“Namanya siapa? ….”
Lalu si orang kaya memberikan satu anaknya pada si orang
miskin.
Tiba-tiba ingat lagu dari permainan masa kecil itu. Entah apa
namanya, aku pun tak ingat, hanya ingat ketika itu aku dan teman-teman SD ku
bermain permainan tersebut di tangga sekolah. Jelas kan dari lagu tersebut,
yang kaya itu yang punya banyak anak, malahan si miskin meminta salah satu anak
dari si kaya, agar menjadi kaya. Ya, namanya juga permaianan, fiksi pada
kenyataan jaman ini.
Kenapa tiba-tiba ingat lagu itu? Jawabannya
mungkin terlihat (tersirat) agak rasis. Aku teringat teman-temanku yang lebih beruntung dariku. Dalam hal ini, beruntung dari segi materi. Mereka sebagian besar sekarang sudah menjadi teman-teman yang sukses, yang kemana-mana tidak sibuk (seperti aku) memakai kendaraan umum, berdesak-desakan dengan para pengguna transportasi lainnya, panas-panasan, lama-lamaan karena kendaraannya ngetem atau mogok atau tidak kunjung tiba, bahkan kadang dibelokkan hingga tak sampai tujuan.
mungkin terlihat (tersirat) agak rasis. Aku teringat teman-temanku yang lebih beruntung dariku. Dalam hal ini, beruntung dari segi materi. Mereka sebagian besar sekarang sudah menjadi teman-teman yang sukses, yang kemana-mana tidak sibuk (seperti aku) memakai kendaraan umum, berdesak-desakan dengan para pengguna transportasi lainnya, panas-panasan, lama-lamaan karena kendaraannya ngetem atau mogok atau tidak kunjung tiba, bahkan kadang dibelokkan hingga tak sampai tujuan.
Tapi toh aku yang anak seorang pedagang yang belum punya kendaraan
dan ponsel secanggih punya mereka ini masih bisa begaul dengan mereka, masih
bisa bercanda, mereka masih mau kenal, masih mau menghubungi dan merespon
pembicaraan, masih mau mengajak kemana mereka akan pergi, sebagian dari mereka
tentu saja. Sebagian lagi, ya mungkin pura-pura tidak kenal lagi, atau memang
lupa, ada yang menonjolkan kemampuan materi mereka pada akses-akses media sosial
yang sekarang sudah melumut bagai di tembok lembab (karena “menjamur seperti
pada musih hujan” sudah banyak yang pakai :D )
Aku menganggap banyak materi itu akan bisa menyenangkan
mereka, “hidup mereka pasti senang” batinku. Mungkin mereka tidak pernah
merasakan mengelola uang diakhir bulan, beli apa malam ini agar besok bisa
makan di kampus/kantor, beli nasi setengah, lumayan hemat seribu, dan lain
sebagainya.
Nyatanya, aku yang sekarang bekerja di Jakarta dengan gaji
perbulan lebih baik dari orang lain, tidak menemukan kesenangan itu. Materi bukan
akar dari kesenangan yang aku cari, teoriku menguap dengan apa yang aku
rasakan sekarang. Sekarang aku berpikir ….
Apakah mereka dulu bahagia dengan materi yang diberi lebih dari orang tuanya?
Apakah mereka lebih bahagia dibanding aku yang bisa makan mie ayam di pinggir jalan bersama sahabatku sambil ngobrol ngaler-ngidul?
Apa mereka pernah merasakan adrenalin yang memicu ketika aku membatin “pasti aku akan mendapatkan barang itu, suatu saat, segera” saat window shopping di Mall, karena mungkin mereka bisa langsung membelinya?
Dan pada akhirnya, kebahagiaanlah yang kita cari, bukan?
No comments:
Post a Comment