Wednesday 16 July 2014

Makin Yakin Part I

Fian Apriansyah, orang ini seperti orang lain pada umumnya. Lahir dan tumbuh pada keluarga yang tidak kaya, tapi pula tidak miskin. Alhamdulillah untuk keperluan pokok selalu tersedia, mungkin karena Mamahnya yang pandai mengatur uang keluarga atau pun pemberian anak-anaknya yang lain.

Bete bukan dari pertama sudah membahas narsis diri sendiri, tapi ini yang saya ingin tulis setelah sekian bulan tidak pernah posting di blog ini.

Fian yakin somehow dirinya ada di dunia ini penuh dengan keberuntungan. Sedari kecil, dia sering melihat tangan dan kakinya sendiri dan berpikir "untuk apa saya ada di dunia ini" sembari tiduran dan melihat kemampuan otot tubuhnya untuk menggerak-gerakan tangan dan kakinya dengan gerakan memutar, menekuk dan gerakan lainnya yang bisa dikuasai bagian tubuhnya itu.

Otak Fian termasuk cerdas, sedari Taman Kanan-kanan di TK Tunas Pendawa, dia selalu menjadi salah satu perhatian Gurunya, yaitu Bu Lusi dan Bu Yayah, masih ingat di benaknya penampakan kedua Guru pertamanya di organisasi formal ini. Diperhatikan karena dia anak yang cepat tanggap, cepat menyerap pelajaran. Mungkin salah satu faktornya karena kakak-kakaknya sudah sekolah cukup tinggi, sekitar SMA ketia dia lahir. Umur 3 tahun dia hafal bilangan 1 - 10 dalam bahasa inggris walau pun tidak tahu artinya, senang menggambar walau pun pada akhirnya hasil akhir dari gambar tersebut tidak ada yang istimewa alias standar, tidak cadel tapi tidak tahu bagaimana mengucapkan mobil bisa menjadi mojih, sudah semenjak TK dia takut yang namanya telat (sampai sekarang pun jarang sekali telat/tidak tepat waktu), punya banyak kenalan tapi bukan teman, cengeng tapi terkadang ditakuti teman sebayanya dulu karena senang mencakar, suka ... ah jadi ngelantur.

Masuk SD, Fian tidak pernah tidak masuk 5 besar di kelasnya, bahkan selalu jadi ranking ke-2. Even waktu si juara pertama pindah sekolah, dia harus rela tetap menjadi ranking ke-2 karena si ranking ke-3 tiba-tiba menyusulnya, dan makin yakin dia beruntung karena sedari kecil dia tidak pernah yang namanya menghapal hingga larut malam atau mati-matian, hanya paling baca sekedarnya dan lalu bilang "gimana nanti".

Keadaan seperti itu terjadi sampai kuliah. Fian dikenal sebagai salah satu siswa yang pintar. Tapi dia makin yakin kalau dia (masih) beruntung, dia tidak yakin dia pintar dalam hal akademik, contohnya: dia sama sekali tidak pandai matematika, tapi nilai matematinya selalu diatas rata-rata kelas, mending. Dia tidak bisa fisika, dibuktikan nilai fisika pada rapot kelas X di SMAN 6 Bandung nilainya 5, nilai terburuk yang pernah dia dapat selama sekolah. Makin yakin kalau dia beruntung karena dia bisa masuk kelas IPA, padahal nilai fisika 5 dan sebenarnya dia ingin masuk kelas IPS karena suka sejarah. Kimia, hhmmm apalagi, dia paling malas mengerjakan soal-soal kimia dan perhitungan rumusnya yang rumit beserta tabel periodik yang runyam itu. Tidak ada pelajaran inti di kelas IPA yang bisa dia handle sendiri. Tapi dia bersyukur karena jaman ketika dia Ujian Nasional belum disertakan mata pelajaran IPA, hanya Matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.

bersambung ....