Thursday 2 January 2014

#MalJumCeria Pedagang Sate Kuburan

Pedagang Sate di Bandung tentu banyak banget. Dari yang pinggiran sampe restoran, dari yang keliling sampe yang menetap di satu tempat. Tapi kalo kelilingnya di sekitar kuburan?. Yap, benar dikuburan. Di Bandung sendiri, ada beberapa Tempat Pemakaman Umum (TPU) yang suka dipakai sebagai tempat mengubur keluarga yang telah meninggal.

Ada teman saya pernah berkata "Kok gitu sih, dikuburnya (Mamah saya) jauh dari rumah. Kalo di tempat saya, ada yang meninggal ya di kubur di halaman atau kebun deket rumah".

Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan lainnya pemakaman memang dilakukan di tempat pemakanam umum, lagian dimana sih orang Bandung yang punya halaman luas di rumahnya. Selain sudah padat penduduknya, ya mending dijual ke pengembang-pengembang dengan harga yang selangit.

Eits, disini saya akan bahas salah satu pedagang sate yang sukses. Satenya selalu sold out. Pembelinya ngantri. Dan kamu tahu dimana dia berjualan? Di kuburan. Di salah satu TPU terbesar di Bandung, yang letaknya di Jl. Abdurahman Saleh. Saking besarnya, kuburan yang telah dihuni oleh sekitar 40.000 makam ini besarnya sampai ke perbatasan Bandara Husein Sastranegara dari Jl. Pajajaran dekat SMK Penerbangan.


Sebut saja pedagang sate itu Kang Jana. Kang Jana sudah lama berjualan sate dengan gerobak dorongnya. Tapi yang bikin aneh, ya dia jualannya di kuburan. Sebut saja TPU Lenyapraga, saking besarnya sehingga beberapa wilayah dihubungkan oleh jalan setapak di TPU tersebut. Tak sedikit orang yang melewati TPU tersebut, berniat memotong jalan untuk sampai ke rumahnya. Kalau siang sih ga apa-apa, terang juga. Kalo berangsur agak sore ke maghrib, suasana sudah tidak bersahabat.

Tanah-tanah yang bertumpuk tidak sama rata, sama menghantuinya seperti pohon-pohon yang menjulang penuh dedaunan dan gelap. Wangi tanah yang berbau bunga-bunga tujuh rupa serta sedikit lembab menambah horor tempat itu. Setidaknya sangat horor oleh orang asing yang belum mengenal TPU Lenyapraga. Tapi suasana begitu serasa dekat dan akrab bagi Kang Jana. Hampir setiap hari baginya suasana begitu menyapanya, dengan menarik gerobak satenya dia berhenti di persimpangan jalan setapak yang diapit oleh kuburan-kuburan yang beraneka ragam, berwarna gelap dilapisi lumut di beberapa tempat.

Sudah dua tahun Kang Jana berjualan sate disana, datang sareupna (kalau orang sunda bilang) atau sekitaran jam lima beranjak ke maghrib, dan pulang sekitaran jam 10 malam. Laku? tentu, kalau tidak mana mungkin dia masih di tempat yang sama selama dua tahun jika tidak ada yang membeli dan dagangan habis. Memang sih, banyak rumah warga yang tinggal disekitaran TPU Lenyapraga, selain warga biasa, penjaga kuburan pun memang tinggal diantara kuburan itu.

Tapi sebuah wacana mengganggu pikiran Kang Jana baru-baru ini, dia baru tahu kalau warga sekitar suka membicarakannya. Bukan karena banyak barang yang Kang Jana beli dari hasil berjualan sate, tapi "siapa yang membeli satenya?"

Memang sih, Kang Jana merasa jarang sekali melihat konsumennya ketika melayani pesanan yang hampir tiap saat kebanjiran order. Kang Jana merasa janggal dan masuk akal dengan pernyataan beberapa warga yang berkonotasi negatif. "Kang, kok saya liat areng sate ngebul terus. Tapi saya liat gak pernah ada yang beli". Seingat Kang Jana sih, ketika dia menerima orderan dia selalu melayani konsumennya dengan cepat, membakar sate, membungkus dan memberikan bungkusan tersebut ke konsumennya. Jarang melihat mukanya, hanya memberikan bungkusan sate dan menerima uangnya.

Rasa penasaran membuatnya ingin membuktikan bahwa konsumennya memang "manusia". Suatu hari, dia berjualan seperti biasanya, datang hampir maghrib. Setelah maghrib, ketika langit sudah beranjak gelap, seperti biasa pula tiba-tiba banyak pembeli yang mampir ke gerobaknya untuk membeli sate Kang Jana. Tapi, kali ini dia berupaya memberanikan hatinya untuk melihat konsumennya secara lekat-lekat.

Dan benar saja, ketika dia memperhatikan pembeli yang mengantri untuk membeli sate dagangannya, Kang Jana agak mundur sedikit, kaget. Konsumennya semua berkulit sangat pucat sekali, saking pucatnya urat-urat hijau yang menjalar seluruh tubuh terlihat hampir jelas dalam penerangan petromak yang kuning dan temaram. Tak hanya itu, mata sang konsumen pun memandang kosong ke depan, tangannya keriput, suaranya jika didengar dengan seksama terdengar agak sengau.

Kang Jana menguatkan diri agar tidak lari, tapi dikerubuti dengan sosok demikian, mana tahan. Dia langsung berlari meninggalkan gerobak dan barang dagangannya. Tak ada yang mengejar. Tapi, seketika itu pula sosok-sosok lainnya seperti sudah berencana untuk menampakan diri. Tiga pocong tiba-tiba mampir di depan matanya, tidak menakut-nakuti pocong itu, hanya diam dan melihatnya. Tapi cukup menjengkitkan bulu roma. Dengan baca-baca surat dari Al-Quran, Kang Jana tetap berlari dan pulang ke rumahnya, tanpa menceritakan apa-apa ke keluarga dan siapa pun.

Sejak saat itu, Kang Jana tidak pernah lagi berjualan sate pada waktu sore-maghrib. Dia tetap berjualan sate, tetapi pada siang hingga sore, masih di kuburan itu. Namun ketika sore mendekat, Kang Jana berpindah tempat. Ke tempat yang "agak ramai".

No comments:

Post a Comment